Mencuatnya
skandal seks para pendeta Katolik, mencoreng muka Vatikan, sebagai
instutusi keagamaan tertinggi umat Katolik. Sikap Paus Benediktus XVI
atas skandal memalukan ini membuat umat Katolik kecewa dan membuat
banyak orang makin tidak percaya dengan institusi gereja. Alih-alih
menghukum pelakunya, Paus Benediktus malah menyelenggarakan pengakuan
dan pengampunan dosa bagi para pelakunya. Inikah awal kehancuran Gereja
Katolik Roma?
Sejak Awal Menolak Bertanggung Jawab
Bagaimana
seseorang menebus dosa atas sesuatu hal yang mengerikan, seperti
Inkuisisi (pengadilan oleh Gereja Katolik Roma)? Joseph Ratzinger,
seorang Kardinal asal Jerman mencoba melakukan hal itu untuk Gereja
Katolik Roma dalam upacara megah penebusan dosa yang digelar Vatikan,
disebut Hari Pengampunan yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maret
2000. Ritual yang dipimpin langsung oleh Paus Yohanes Paulus II
bertujuan untuk memurnikan sejarah gereja dan kurun waktu dua milenium
ini.
Di hadapan sebuah salib kayu- salib keramat yang
selalu berhasil diselamatkan dalam setiap peristiwa pengepungan Roma
sejak abad ke-15- para Kardinal dan uskup berdiri untuk mengakui
dosa-dosa yang pernah mereka lakukan terhadap berbagai etnis di
masyarakat, pada kaum perempuan, orang-orang Yahudi, pada kebudayaan
masyarakat minoritas, sesama orang Kristen lainnya dan pada agama.
Ratzinger merupakan pilihan yang tepat untuk mewakili Kantor Kudus
Inkuisisi yang mengerikan: Ia, ketika itu mengepalai kantor Kongregasi
Doktrin Keimanan, yang bersejarah itu.
Ketika gilirannya
pengampunan dosanya tiba, Ratzinger yang dikenal sebagai teolog
terkemuka gereja, mengucapkan sebuah doa pendek, “Bahkan orang-orang
gereja, atas nama iman dan moral, kadang-kadang menggunakan metode tidak
sesuai dengan Injil dalam tugas mulia membela kebenaran. “
Jika
orang yang mendengarnya meraka adanya kata-kata yang bertentangan,
maka ia akan memahami kesulitan yang sedang dihadapi Ratzinger-sekarang
Paus Benediktus XVI-dalam memipin Gereja Katolik untuk benar-benar
menghapus noda hitam dari sekian noda hitam yang pernah terjadi di
Gereja Katolik yaitu kasus-kasus yang menyangkut perilaku yang tidak
pantas yang dilakukan para pendeta pada anak-anak dan ditutup-tutupi
oleh para uskup gereja. Dan ketika seorang Kardinal yang memiliki
jabatan di gereja melontarkan spekulasi pada publik bahwa Benediktus
akan menyampaikan “mea culpa” (pengakuan bahwa sesuatu yang buruk
terjadi karena kesalahannya) pada awal Juni, menurutnya, kata-kata maaf
yang akan disampaikan–jika memang hal yang buruk itu memang
terbukti–akan sangat dibatasi oleh persoalan teologi, sejarah dan
orang-orang yang sangat dekat dengan kantor kepausan. Pernyataan itu,
masih kata sumber Kardinal tadi, kemungkinan tidak akan memuaskan para
pengikut Benediktus yang menginginkan pertanggungjawaban yang lebih
modern, bukan hanya sekedar pernyataan yang tidak ada gaungnya dengan
berlindung dibalik filosofi agama yang misterius. Olan Home, 50, salah
satu orang yang menjadi korban pelecehan yang dilakukan pendeta Kristen
di Amerika pada masa anal-anak mengatakan, “Seseorang mengatakan pada
saya, jika gereja selamat dari inkuisis, maka gereja akan tetap
bertahan. Tapi masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Saat ini ini,
dunia modern menutup mata dan telinganya terkait persoalan-persoalan
besar yang terjadi di Gereja Katolik.”
Gereja mengalami
krisis yang rumit oleh fakta bahwa pada tahun 1980, sebagai Uskup Agung
Munich, Ratzinger namapkanya telah melakukan kesalahan dengan
menugaskan seorang pendeta yang dicurigai terlibat kasus pedofilia,
yang berada di bawah tanggung jawabnya. Terungkapnya kasus ini—yang
menjadi pertanyaan bagaimana Ratzinger, sebagai pejabat Vatikan akan
melakukan pengawasan selanjutnya–memicu pengalihan perhatian atas
berbagai skandal nasional ke isu epik dan ujian eksistensi gereja yang
universal, ujian bagi para pemimpinnya dan pada saat yang sama ujian
bagi ajaran agama itu sendiri. Kenyataan ini mengandaskan ambisi
Benediktus untuk megembalikan lagi kejayaan evangelis di kota-kota
Eropa, sebuah imperium kekristenan seperti di masa lalu. Selama dua
bulan terakhir, Paus telah menimbulkan pergeseran Tahta Suci, dari
sikap diam dan pengingkaran menjadi terpanggil untuk menghadapi musuh
dari dalam gereja. Meski demikian, rasanya tetap ada bagian yang
hilang, terkait tudingan bahwa Bapa Suci terlibat dalam skandal itu.
Mampukah Paus, sosok yang menjadi lambang masih hidupnya ajaran Injil
kuno dan pemimpin spiritual 1,2 miliar umat Katolik dunia ini , menebus
dosa-dosanya di hadapan publik tanpa harus kehilangan sifat kepausan
yang tak terkalahkan dari sisi teologi?
Tanpa menyinggung
krisis yang terjadi, di hadapan jamaahnya di Lapangan Santo Petrus
pada tanggal 26 Mei, Benediktus mengatakan “Bahkan seorang Paus tidak
dapat melakukan apa yang ia inginkan. Sebaliknya, Paus adalah penjaga
ketaatan kepada Kristus, kepada firman-Nya.”
Benediktus
tampaknya sudah memahami apa taruhannya. Alberto Melloni, seorang
sejarawan gereja di Universitas Modena mengatakan, para pemegang
kekuasaan lainnya di Vatikan optimis gereja bisa menanggulangi “badai”
yang menerpa gereja. “Mereka tidak menyadari kepahitan yang mendalam
dari semua keyakinan yang ada, yaitu isolasi yang akan dialami para
pemuka gereja. Kita tidak bisa memprediksi akhir dari semua krisis
ini,” ujar Melloni. Pada Time, seorang pejabat senior Vatikan
memprediksi akan adanya konsekuensi besar bagi seluruh gereja. “Sejarah
sudah sampai pada episode yang penting. Kami sedang menghadapi salah
satu dari masa-masa itu, sekarang,” ujar sumber tadi.
Lembaran Hitam Gereja
Pada
akhirnya, ujian bagi gereja bukan tentang doktrin atau dogma, bahkan
bukan tentang kata-kata yang akan diucapkan dalam “mea culpa” dan
pengunduran diri atau tuntutan terhadap para wali gereja. Tapi ujian itu
adalh suara tangisan anak-anak akhirnya terdengar keluar, lama setelah
masa kecil mereka. Dengarlah penuturan Bernie McDaid yang membuat
jamaah di Lapangan Santo Petrus bergetar.
“Dia meraih
tubuh saya, menggelitik dan bergulat seperti yang saya lakukan dengan
ayah saya, dan awalnya saya pikir ini menyenangkan,” kata McDaid yang
menurut imam parokinya, McDaid menghabiskan masa kecil dan remajanya di
Salem.
“Tapi kemudian ada yang berubah … Dia mulai
memegang kemaluan saya. Saya merasa dia menggosok-gosokan dirinya ke
tubuh saya dari belakang … Saya sangat takut … Aku tahu ini salah. Saya
memandang keluar jendela. Aku mulai berdoa,” tutur McDaid.
Menurutnya,
kejadian itu terjadi lagi dan lagi selama tiga tahun. Ibu McDaid yang
saleh, tidak tahu apa-apa dan selalu senang jika pendeta datang ke
rumah untuk menjemput putranya untuk bergabung bersama anak-anak lelaki
lainnya pergi tamasya ke pantai. McDaid baru berusia 11 tahun ketika
pelecehan itu dalaminyai. McDaid, yang sekarang berusia 54 tahun ingat
bahwa anak terakhir yang keluar dari mobil pendeta yang akan jadi
korban pelecehan seksual. McDaid akhirnya bicara kepada ayahnya, yang
kemudian membawanya kepada imam di kota tetangga untuk melaporkan apa
yang terjadi.
“Kami menunggu selama berbulan-bulan. Lalu
ada rotasi para pendeta. Dia (pendeta pelaku pelecehan) pergi,. Tapi
gereja membuat pendeta itu tampak seperti orang penting. Kepindahannya
dirayakan dengan kue dan es krim,” ujar McDaid yang akhirnya dalam
kebisuan, menyimpan sendiri rasa malu akibat perbuatan Pastor Joseph
Birmingham yang setelah itu diketahui masih terus melakukan pelecehan
seksual pada anak-anak di tiga paroki di wilayah Boston, sampai ia
meninggal pada tahun 1989.
“Ada sistem yang diyakini,”
kata McDaid, “bahwa para pendeta, uskup dan Paus adalah orang-orang
yang selalu benar. Manusia memberi mereka kekuasaan karena kekuasaan
itu seharusnya menjadi sumber kebaikan .. sebuah kekuasaan Allah.
Sekarang, banyak orang setengah napas … Mereka tidak tahu di mana akan
menempatkan iman mereka. Apa yang harus saya lakukan saat berdoa?”
Injil
Markus menetapkan nasib mereka yang menganiaya anak-anak, “Dan siapa
pun yang membahayakan anak-anak yang beriman kepadaku, adalah lebih
baik bagi orang itu digantungkan batu pada lehernya dan dilemparkan ke
dalam laut. ” Namun peringatan keras dalam Injil itu tidak terlihat
dalam respon gereja terhadap kejahatan seksual yang dilakukan para
pendetanya. Selama bertahun-tahun, para pemuka gereja yang menyinggung
masalah pelecehan seksual ini, hanya berakhir dalam kebisuan.
Saat
ini Vatikan tampak menghimbau para uskup mulai dari dari India sampai
Italia untuk segera melimphakan kasus-kasus baru kepada otoritas sipil.
Tapi bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu? Mea
culpa akan dimulai dan Benediktus memiliki draft tentang apa saja yang
harus dikerjakan; mulai dari menulis surat kepada umat Katolik di
Irlandia pada tanggal 19 Maret, setelah terungkapnya skandal seks yang
telah melemahkan institusi gereja di sana.
“Anda telah
sangat menderita dan saya benar-benar menyesal,” tulis Benediktus.
“Saya tahu bahwa tidak ada yang kesalahan seperti yang kalian alami.
Kepercayaan yang kalian berikan telah dikhianati dan martabat kalian
telah dilanggar … Banyak di antara kalian menyaksikan bahwa ketika
kalian cukup berani untuk berbicara tentang apa yang terjadi pada
kalian, tidak ada yang mau mendengarkan .. Bisa dimengerti jika kalian
merasa sulit untuk memaafkan atau berdamai dengan gereja. Atas nama
gereja , aku secara terbuka menyatakan rasa malu dan penyesalan atas
semua kita semua rasakan. “
Kata-kata itu begitu
menyentuh dan untuk beberapa umat Katolik, mungkin sudah cukup mendengar
Paus menyatakan penyesalan dengan cara ini. Tapi Benediktus juga
bicara tentang penebusan dosa. Dalam istilah gereja, sakramen
pengampunan dosa melibatkan pengakuan dan kemudian memaafan seluruh
dosa orang yang melakukan dosa. Tapi penebusan dosa macam apa yang akan
dilakukan seorang Paus yang dengan tangannya telah menimbulkan
kontroversi? Di sinilah letak persoalan teologi yang rumit.
Krisis
Gereja Katolik terus memanas pada bulan Maret sampai April, banyak
orang di Vatikan khawatir krisis itu akan membawa dampak buruk
magisterium kepausan-yang menyangkut sejarah, otoritas kumulatif dan
otoritas tertinggi pada sosok Paus untuk mengajarkan dan memberitakan
firman-firman Allah. Para pejabat Vatikan khawatir bahwa “mea culpa”
akan melemahkan institusi kepausan yang tak terpisahkan dengan
kemampuan kepausan dalam merefleksikan kekuatannya pada dunia, di
sepanjang sejarahnya. Mulai dari tindakan mempermalukan Kaisar Romawi
yang Suci Henry IV di Canossa pada abad ke-11 sampai melecehkan
kekuasaan Soviet di Polandia pada abad ke-20. Sikap itu memainkan peran
penting dalam doktrin infalibilitas kepausan, yang menyatakan bahwa
Paus tidak pernah membuat kesalahan saat ia memberikan ajaran-ajaran ex
cathedra – yaitu, dogma dari tahta Santo Petrus, terikat dengan hak
istimewa tradisional dari seorang “rasul”, kepada siapa diberikan
kekuasaan di surga dan di bumi “untuk mengikat dan mlonggarkan” atau
dengan kata lain bahwa gereja memiliki kemampuan untuk membuka
pintu-pintu langit dan neraka, karena “rasul” itu akan selalu suci
daripada manusia biasa
boscapsa
BalasHapusmaindomino99
pasarpoker
raja-qq
.ratu-qq
poker-pelangi